Selebrasi Sarat Makna dalam Sepak Bola yang Berbahaya
Saat menonton sepak bola, salah satu hal yang paling ditunggu adalah selebrasi. Selain menjadi pertanda lahirnya sebuah gol, aksi ini juga menjadi wujud luapan hati dari para pemain.
Hal ini seakan memberikan kita gambaran bahwa sepak bola bukanlah sekedar olahraga yang bergengsi, namun juga sebuah refleksi kehidupan.
Wujud ekspresi tersebut tentunya menyimpan sejumlah makna, mau itu baik atau buruk. Terkadang aksi ini justru tersemat pesan tentang hal yang baru saja terjadi atau bahkan punya makna yang cukup berbahaya.
Lantas bagaimana sepak bola saat ini menyikapi sebuah selebrasi?
Selebrasi sebagai Alat Komunikasi di Lapangan Hijau
Bisa dibilang, selebrasi dalam sepak bola adalah salah satu bentuk komunikasi yang tersirat. Kadang hanya segelintir orang yang dapat memahami apa arti dari sebuah ekspresi yang dikeluarkan oleh pemain usai mencetak gol.
Misalnya selebrasi legendaris yang dilakukan striker andalan Brazil era 90-an, Bebeto. Ia terkenal dengan aksi mengayunkan kedua tangannya yang ditempelkan seperti layaknya menimang bayi. Tapi apa sih arti sebenarnya?
Mengutip Pandit Football, selebrasi tersebut menunjukkan betapa bahagianya Bebeto pada saat itu. Di mana putra ketiganya baru saja lahir dan ia tidak bisa menemani sang istri melalui persalinannya.
Read more:
Namun ia membawa kegembiraan itu ke lapangan dan merayakannya bersama rekan satu tim bahkan para suporter. Istilahnya, Bebeto melakukan aksi itu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas lahirnya anak ketiganya ke dunia.
Begitu pula dengan apa yang dilakukan pemain loyal AS Roma, Francesco Totti. Ia punya aksi khas dengan menghisap ibu jarinya setelah berhasil menciptakan gol.
Rupanya, ia melakukan hal tersebut sebagai bentuk ungkapan syukur dan terima kasih karena sang istri dapat memberikan anak kepadanya dan sekaligus menjadikannya seorang ayah. Totti merasa terhormat akan hal itu.
Luapan Ekspresi dalam Sepak Bola yang Berbahaya
Meski begitu, selebrasi tidak selalu membawa arti yang positif. Sejumlah pemain malah menggunakan momentum ini sebagai wadah untuk balas dendam atau hanya ingin sekedar merendahkan pihak lain.
Bukti nyata baru saja terjadi pada perhelatan Euro 2020. Penyerang Austria, Marko Arnautovic kedapatan melakukan selebrasi kontroversial yang dinilai punya makna rasisme.
Ketika Arnautovic berhasil menjebol gawang Makedonia Utara pada Minggu (13/6) lalu, ia merayakan golnya dengan membuat gesture “oke” dengan menyatukan telunjuk dan ibu jarinya.
Tidak hanya itu, ia ternyata melakukan aksi tersebut seraya berteriak dengan bahasa kasar. “Jebem sam ti majku Šiptarsku,” teriaknya ke arah penonton.
Mengutip Sky Sports, kata “Sipstarku” sendiri memiliki makna rasis yang ditujukan kepada etnis Albania. Mengingat negara Makedonia memang banyak dihuni imigran asal Albania yang mengungsi karena perang Kosovo tahun 1998-1999.
Kebetulan, pemain Makedonia Utara yang ada di lapangan saat itu ada yang keturunan Albania, yaitu Egzon Bejtulai dan Gjanni Alioski. Sedangkan Arnautovic punya darah Serbia dari ayahnya meski kini membela negara kelahiran ibunya Austria.
Diketahui Serbia memang belum mengakui kemerdekaan Kosovo. Alhasil membuat hubungan negara itu dan Makedonia Utara menjadi semakin kencang.
Pihak UEFA langsung sigap menginvestigasi aksi tersebut karena Federasi Sepak Bola Makedonia Utara (FFM) merasa direndahkan. Akhirnya Aranutovic dijatuhi hukuman larangan bermain satu pertandingan untuknya
Patch “RESPECT” adalah Sebuah Movement, Bukan Sekedar Hiasan
Aksi seperti ini justru yang sebenaranya harus dihindari oleh para pemain sepak bola. Jika sudah terjadi, patch “RESPECT” yang melekat pada jersey mereka seakan hanya hiasan belaka.
Padahal, sudah sejak lama kata “RESPECT” itu selalu digaungkan di dalam lapangan hijau. Bukan lagi sebuah kata, melainkan sudah menjadi movement untuk saling menjaga hubungan baik antara tim maupun negara.
Makanya di Euro 2020 juga menerapkan gesture berlutut sebelum dimulainya kick-off. Hal ini dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap kulit hitam dalam gerakan “Black Lives Matter“.
Meski begitu, rupanya banyak pihak yang merasa gesture ini tidak relevan. Pasalnya aksi berlutut ini dinilai sudah lepas dari konteks dan hanya dilakukan sebagai seremoni biasa.
Sudah seharusnya kita butuh aksi yang lebih nyata. Isu rasisme sudah terjadi selama ratusan tahun dan sampai sekarang belum ada perbaikan yang signifikan.
_
Apa opini kalian tentang sebuah selebrasi?