Pelecehan Seksual dan Bullying di KPI, Tak Kunjung Selesai
“Saya trauma buah zakar saya dicoret spidol oleh mereka.” begitu tulis korban dugaan pelecehan seksual di lembaga raksasa di Indonesia, KPI.
Baru-baru ini, viral sebuah pesan pengakuan pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS yang mengalami pelecehan dan perundungan oleh rekan kerjanya.
MS mengaku, kekerasan dan bullying yang ia alami sudah berlangsung sejak ia memulai kariernya di KPI. Namun, usaha yang ia lakukan untuk mendapat keadilan tak kunjung menemui titik terang.
Hal ini bikin kita bertanya-tanya, separah apakah penanganan lembaga-lembaga dalam menghadapi kasus semacam ini?
Kronologi kisah pelecehan seksual dan bullying menurut MS
Kekerasan yang MS alami sudah terjadi sejak ia mulai bekerja di KPI tahun 2011 silam. Menurut ceritanya, MS mendapat perlakuan bullying yang tak terhitung jumlahnya.
Mulai dari paksaan untuk membelikan makanan, makian, hingga pukulan pun pernah MS rasakan. Ini belum puncaknya.
“Saya tidak tahu apakah pria peleceh itu mendapat kepuasan seksual saat beramai-ramai menelanjangi dan memegangi kemaluan saya.” ungkapnya atas puncak pelecehan seksual yang ia alami 2015 lalu.
MS mengaku merasakan banyak gangguan kesehatan, fisik maupun mental. Bahkan pada tahun 2019, MS mendapat diagnosa PTSD (Post Traumatic Stress Disorder).
Begini lengkapnya:
Penanganan yang ‘oper-operan’
Mengalami kekerasan selama bertahun-tahun, MS tidak tinggal diam. Berbagai macam upaya, mulai dari melaporkan ke atasan sampai ke Komnas HAM dan polisi pernah ia lakukan.
Tahun 2017 lalu, MS mengadu pelecehan seksual dan kekerasan itu ke Komnas HAM lewat email. Hal ini juga sudah dikonfirmasi Komnas HAM.
Sebulan kemudian, lembaga ‘Hak Asasi Manusia’ merespons dan ‘mengoper’ MS ke polisi. Alasannya, ini sudah masuk tindak pidana.
Tak selesai sampai situ, dua tahun kemudian MS melapor ke Polsek Gambir. Alih-alih melakukan pemeriksaan, petugas hanya menyarankan untuk ‘adukan ke atasan’.
Pemindahan ruangan. Hanya itu hasil dari pelaporannya. Tak ada hukuman bagi pelaku, apalagi pengeluaran. Toh, pemeriksaan pun nihil.
Penyalahgunaan relasi kuasa?
Melansir dari wawancara VOA dengan aktivis perempuan dan kesetaraan gender Damaira Pakpahan, ia sangat menyayangkan begitu lamanya pelecehan seksual yang MS alami.
“Kok bisa dari 2012 terjadi tanpa ada yang menciumnya.” sesalnya. Ia juga khawatir, korban bukan hanya ada satu, namun baru MS yang berani speak-up.
Damaira menganggap, ‘ini sudah seperti mafia’. Harus ada kajian relasi kuasa, budaya, dan struktur organisasi yang melanggengkan kekerasan seperti ini.
Ia menyampaikan, seharusnya KPI bisa melakukan perombakan besar di organisasinya untuk mencegah kasus serupa terulang di kemudian hari.
—