Nama Virus Cacar Monyet Bakal Diganti Untuk Cegah Diskriminasi Afrika, Begini Pertimbangan WHO
Cacar monyet sering diasosiasikan dengan wilayah Afrika
Virus cacar monyet (monkeypox) belakangan ini jadi pembicaraan populer di media sosial. Pasalnya, penyebaran virus yang juga punya nama Orthopoxvirus itu makin bikin orang-orang di berbagai negara khawatir.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat ada 1.385 kasus yang terkonfirmasi di 28 negara di dunia pada 8 Juni 2022. Kasus tertinggi yang tercatat berada di Eropa, sebanyak 1.112 kasus atau sekitar 87 persen.
Walau begitu, sorotan media sosial kepada penyakit ini kebanyakan mengasosiasikan dengan wilayah Afrika. Karena itu, sekelompok ilmuwan dari beberapa negara, dengan mayoritas negara di Afrika menuntut adanya perubahan nama penyakit.
WHO pertimbangkan penggantian nama
WHO mempertimbangkan perubahan nama resmi untuk virus cacar monyet.
Menurut mereka yang mengusulkan pertama kali, penamaan virus ini masih terlalu merujuk ke suatu daerah, yaitu Afrika.
Cacar monyet dibedakan jadi beberapa jenis berdasarkan tempat wabah berada, yaitu Afrika Barat dan Congo Basin atau Lembah Kongo.
Menurut para peneliti, penamaan itu kini tak lagi relevan dan diskriminatif serta mendatangkan stigma buruk kepada daerah maupun orang Afrika.
Apalagi, mereka melihat kondisinya yang saat ini sudah mewabah di berbagai negara.
SARS-CoV-2 saja tak dinamai virus Wuhan
“Kalau SARS-CoV-2 misalnya, tak bernama virus Wuhan. Maka pertanyaannya adalah, mengapa kita punya virus yang namanya berdasarkan lokasi geografis tertentu di Afrika,” ujar Christian Happi, ilmuwan Universitas Ede Nigeria, melansir STAT News.
Selain itu, dokumentasi anak-anak Afrika yang menderita cacar monyet tersebar luas dan digunakan di berbagai media dunia. Selain itu, ada pula yang mengilustrasikan wabah menyebar di kalangan LGBT.
“Alih-alih menampilkan gambar orang yang mengalami lesi, yaitu pria kulit putih, gambar anak-anak Afrika tetap ditampilkan. Dan ini tak ada hubungannya,” lanjutnya.
Hal ini, menurutnya sangat rasis dan diskriminatif.
Selanjutnya ia pun berharap jurnal ilmiah hingga publikasi media tak lagii memberi stigma negatif kepada kawasan Afrika.
What are your thoughts? Let us know!
-
Restoran Aneh: Pengunjung Dianjurkan Jilat Temboknya
-
Lembaga Sensor Film Belum Bisa Pastikan Soal Penayangan “Lightyear” di Indonesia
-
Internet Explorer Dinontaktifkan Mulai Hari Ini, Sayonara!
(Image: via HealthNews)