Merasa Kesepian Jadi Masalah Lain di Masa Pandemi
Merasa kesepian ternyata menjadi masalah besar lain sebagai dampak dari pandemi. Keterbatasan membuat sebagian orang harus melewati situasi sulit.
Hal itu ternyata berpengaruh kepada perasaan yang berujung pada gangguan kesehatan mental yang di alami masyarakat, termasuk Indonesia.
Sebagian besar mereka merasa kesepian dan ingin menyakiti diri sendiri.
98 persen orang merasa kesepian selama pandemi
Berdasarkan sebuah survei yang dilakukan oleh Into The Light dan Change.org terkait kesehatan masyarakat Indonesia pada periode Mei sampai Juni.
Didapati hampir semua partisipan yang terdiri dari 5.211 orang dari enam provinsi di Pulau Jawa merasakan kesepian.
Sementara itu peneliti pascadoktoral Universitas Macau yang juga mitra Into The Light, Andrian Liem menyebut dari survei itu juga ditemukan bahwa 40 persen respon memiliki pemikiran untuk melukai diri sendiri. Bahkan sampai pada level untuk bunuh diri dalam dua minggu terakhir.
Dari survei itu pula ditemukan bahwa masih banyak responden yang melihat adanya stigma terkait bunuh diri yang sangat kuat. Hal tersebut tercermin dari tidak ada partisipan yang menjawab seluruh pertanyaan tentang fakta dan mitos bunuh diri dengan benar.
Responden enggak berkonsultasi ke psikolog atau pskiater
Uniknya tidak sedikit partisipan yang beranggapan bahwa menayakan keinginan bunuh diri pada sesorang akan memicu keinginan melakukannya.
“Ini adalah mitos, justru menanyakan hal tersebut dapat membantu mencegah keinginan sesorang untuk mengakhiri hidup,” tutur Andrian.
Kendati perasaan kesepian menerpa hampir seluruh responden, anehnya mereka tidak berpikir untuk melakukan konseling ke psikolog atau psikiater.
Mereka justru meyakini anggota keluarga dan teman dekat dengan jenis kelamin yang sama bisa menjadi sosok ‘pembantu’ dalam mengatasi masalah mental kesehatan jiwa.
Hal tersebut selaras dengan hasil survei yang menunjukan hampir 70 persen dari total partisipan mengaku tidak pernah mengakses layanan kesehatan mental dalam tiga tahun terakhir.
Alasan yang paling umum adalah biaya layanan kesehatan mental dianggap terlalu mahal dan tidak terjangkau.
“Keyakinan ini menunjukan partisipan lebih perlu dukungan sosial. Namun perlu diingat bahwa tenaga kesehatan jiwa profesional lebih memiliki keahlian dalam menangani kesehatan mental dan dapat menjaga rahasia klien yang berkonsultasi,” tutur Andrian.