Mengapa RUU PKS Perlu di Indonesia?
RUU PKS sedang ramai lagi diperbincangkan, sampai trending #SahkanRUUPKS
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak aktivis perempuan yang telah mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merancang aturan mengenai kekerasan seksual pada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Namun, sepertinya hal itu tidak pernah menjadi prioritas mereka untuk segera disahkan. Bahkan kemarin, muncul berita bahwa RUU PKS ditarik dari Prolegnas prioritas.
Alasan yang dikeluarkan atas ditariknya RUU PKS pun menarik respon negatif dari banyak orang.
“Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit.” kata Marwan Dasopang, Wakil Ketua Komisi VIII DPR.
Argumen ini pun berhasil membuat seorang aktris, Hannah Al Rashid ikut mengeluarkan statement.
"pembahasannya agak sulit" 🙃 Yg sulit itu hidup dengan rasa tidak aman every time we walk down a street. Yg sulit itu living with the trauma of being a victim of sexual violence. Yang sulit itu trying to understand why people in power don't care about keeping us safe?!? https://t.co/1P7tybLHw4
— Hannah Al Rashid (@HannahAlrashid) June 30, 2020
Tapi mungkin gue harus tarik mundur dulu tentang masalah ini. Untuk memperjuangkan pengesahannya, sebenarnya mengapa Indonesia perlu RUU PKS?
Kenapa Indonesia Perlu UU Penghapusan Kekerasan Seksual?
Dilansir dari Magdalene, ternyata situasi kekerasan seksual di Indonesia ini terhitung sangat parah. Sejak tahun 2015, data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa setiap hari sedikitnya 35 perempuan dan anak perempuan mengalami kekerasan seksual.
Kategori pemerkosaan
Perangkat hukum yang ada di Indonesia juga ternyata terbatas dan tidak memadai. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diketahui hanya mengkategorikan pemerkosaan sebagai penetrasi penis ke vagian, dan pemaksaan fisik.
Padahal, pola pemerkosaan dan jenis kekerasan seksual sangat beragam. Komnas Perempuan pun juga mendefinisikan 15 jenis kekerasan seksual tersebut.
KUHP tidak mengenal pelecehan seksual
Kasus pelecehan seksual hanya bisa diproses dengan pasal pencabulan, jika pelecehan seksual dilakukan secara fisik.
Selain itu eksploitasi seksual diatur dengan keliru dalam UU Pornografi, di mana di dalamnya sangat menekankan aspek moralitas. Nampaknya hal ini berpotensi menjadikan perempuan kembali jadi korban (karena mengaburkan tindakan eksploitasi seksual).
Larangan aborsi tanpa lihat konteks
KUHP dan UU Kesehatan menekankan pada larangan aborsi tanpa melihat konteks, ujung-ujungnya akan perempuan lagi yang akan dipidanakan.
Selain itu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak melihat korban sebagai subyek dalam peradilan pidana dan tidak mengatur bagaimana cara pemulihan bagi korban.
Apa yang disuarakan selama ini sebenarnya ingin mengisi dan melengkapi kekosongan hukum tentang kekerasan seksual. Sehingga nantinya penegakan hukum akan fokus pada hak korban atas keadilan dan pemulihan.
Source: Magdalene
_
Gimana menurut lo?