Keresahan RA Kartini di “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang Masih Relatable sampai Hari Ini
Selamat Hari Kartini!
Tanggal 21 April jadi hari perayaan yang setiap tahunnya mengingatkan kita pada perjuangan Raden Ajeng (RA) Kartini akan kesetaraan perempuan dan laki-laki.
Buah perjuangannya, sampai hari ini emansipasi terus dilanjutkan perempuan-perempuan Indonesia dari berbagai generasi.
Tentang RA Kartini
Kartini hidup di masa kolonial, bukan masa yang terang buat ilmu pengetahuan, apalagi bagi kaum perempuan. Istilah ‘perempuan baik’ di adat istiadat era itu seakan-akan cuma berlaku buat mereka yang tunduk kepada keluarga dan suami, tanpa ‘neko-neko’.
Tapi nyatanya, hal ini nggak menghentikan sosok kelahiran Jepara itu untuk membuka wawasan dan berpikiran bebas. Mulai dari “Max Havelaar” karya Multatulli, hingga roman anti-perang “Die Waffen Nieder!” karya Berta von Suttner adalah sedikit dari bacaannya di masa muda.
Kalau lo nggak asing sama “Habis Gelap Terbitlah Terang”, buku itu isinya adalah kumpulan surat-surat Kartini yang jumlahnya ratusan.
Ini dia beberapa keresahan dan mimpi RA Kartini yang masih relatable sampai sekarang!
- Terus mencari ilmu, walau keadaannya sulit
“Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu.”
Nggak ada lelahnya RA Kartini menyuarakan soal pendidikan dan mencari ilmu, bahkan di masa sulitnya mengemban pendidikan.
Faktanya, menurut survei PERC (Politic and Economic Risk Consultant), kualitas pendidikan di Indonesia ada di urutan terakhir dari 12 negara di Asia.
- RA Kartini bicara soal rasisme dan diskriminasi
“Banyak orang Eropa di sini berputih mata melihat orang Jawa, orang yang di bawahnya perlahan-lahan maju, dan tiap-tiap kali ada saja orang kulit hitam timbul, membuktikan bahwa dia ada juga berontak dalam kepalanya dan berhati berjantung di dalam dadanya, tiada bedanya dengan orang kulit putih.”
Pada masa kolonial waktu itu, Kartini berani menyuarakan keresahannya akan orang-orang yang membeda-bedakan dan punya pandangan rendah ke suatu kaum. Orang Indonesia saat itu terus-terusan dianggap rendah, walau punya peradaban yang nggak kalah.
Sampai sekarang, mitos kalau suatu ras dan warna kulit tertentu itu lebih baik dari yang lainnya masih sering berseliweran di mana-mana.
Padahal, kita semua sama-sama manusia yang berjantung, bergagasan, nggak ada bedanya.
- Dirundung cita-cita, dihambat kasih sayang
“Dan kawin di sini, aduh dinamakan azab sengsara masih terlalu halus! Betapa nikah itu tiada akan sengsara, kalau hak semuanya bagi keperluan laki-laki saja dan tiada sedikit jua pun bagi perempuan?”
Salah satu yang jadi keresahan RA Kartini adalah tentang bagaimana perempuan masih terbatas ruang geraknya, gara-gara ‘kewajiban’ buat nikah.
Ini jadi poin yang relatable sampai sekarang, karena faktanya masih ada budaya nge-jodoh-jodohin tanpa peduli kemauan si perempuan.
Bahkan menurut data yang ada, angka pernikahan dini di salah satu daerah di Indonesia meningkat terus selama tiga tahun terakhir. Padahal, bukannya usia muda itu enaknya dinikmatin buat diri sendiri dulu?
- Kebebasan buat perempuan
“Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput layaknya. Bila agak cepat, dicaci orang, disebut ‘kuda liar’.”
Pasti lo masih sering denger di zaman sekarang, kalau perempuan dibilang ‘nggak boleh ini, nggak boleh itu’.
Ternyata, RA Kartini punya keresahan yang sama tentang hal ini. Masih banyak ‘double standard’ atau batasan-batasan yang bikin perempuan cenderung lebih mudah dicap jelek oleh masyarakat, mau ngapa-ngapain pun jadi serba salah.
Apa salahnya kalau perempuan mau mengekspresikan dirinya sendiri?
- Menghapus ketimpangan laki-laki dan perempuan
“Lagi pula saya bermaksud akan menghapuskan batas yang menggelikan antara laki-laki dan perempuan yang dibuat orang dengan cermatnya,”
Kesetaraan gender masih butuh upaya yang lebih keras. Berbagai data menunjukkan kalau perempuan belum punya ruang seluas laku-laki untuk berkarya, walau punya potensi besar.
Dengan mendobrak batasan dan stigma yang ada, perempuan dan laki-laki bisa ada di posisi yang setara.
Once again, Selamat Hari Kartini!