Kenapa Perbudakan Modern Masih Ada?
Perbudakan Bupati nonaktif Langkat bukan satu-satunya
Isu perbudakan modern mencuat. Pemicunya adalah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin beberapa waktu lalu.
Dalam penemuan tersebut, puluhan orang dikerangkeng dengan dalih rehabilitasi narkoba.
Mereka dipaksa bekerja di kebun sawit milik sang bupati 10 jam sehari. Mereka tidak diberi gaji. Bahkan menerima makan hanya dua kali sehari dan mengalami penyiksaan.
Yang bikin tambah miris, kejadian serupa juga sebenarnya terjadi di seluruh dunia!
Baca juga: Nyebarin Gosip Termasuk Tindakan Kriminal di Arab Saudi, Bisa Dihukum Penjara dan Denda Hingga Rp11 Miliar
Apa itu perbudakan modern?
Mengacu pada Antara, perbudakan modern didefinisikan menjadi berbagai bentuk.
Ada yang mengartikan perbudakan modern sebagai eksploitasi terhadap orang lain untuk keuntungan pribadi atau komersial.
Sementara itu, ada yang mendefinisikannya sebagai perampasan kemerdekaan orang lain demi kepentingan orang lain yang melakukan praktik perbudakan.
Dalam prakteknya, aksi tersebut meliputi perdagangan manusia, kerja paksa, pekerja di bawah umur untuk melunasi utang dan perdagangan anak di bawah umur. Mereka dipekerjakan dan dibuang begitu saja layaknya barang.
Sayangnya, Komnas HAM Indonesia menjelaskan bahwa perbudakan modern tidak ada standarnya meski sering sering digunakan dalam bahasa advokasi di tingkat nasional maupun internasional.
Baca juga: TikTok Uji Coba Fitur Berlangganan Berbayar Buat Content Creator
Kenapa perbudakan modern masih ada?
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya perbudakan modern.
Faktor pertama penyebabnya adalah kemiskinan.
Karena kondisi ekonomi yang sulit, para korban perbudakan tersebut tidak punya power untuk melawan situasi.
“Hal ini ada kaitannya dengan situasi orang yang bekerja secara paksa, sehingga para pekerja atau buruh dalam posisi yang memang powerless” ungkap Taufan.
Faktor kedua adalah lokasi tempat kerja yang sulit diakses, bukan cuma oleh keluarga dan kerabat, namun juga oleh pemerintah.
Hal ini membuat institusi yang bertanggung jawab untuk melindungi pekerka kesulitan untuk memberikan perlindungan dan pertolongan.
Faktor ketiga adalah abainya negara terhadap isu perbudakan.
Percaya atau nggak, isu ini tergolong cukup banyak terjadi di berbagai belahan bumi. Hal ini berimbas pada standar perlindungan pekerja yang problematis.
“Mudah – mudahan langkah – langkah kita ini bisa memberikan suatu solusi bagi penyelesaian masalah. Komnas HAM juga selama ini sudah menjalin komunikasi baik dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan berupaya agar persoalan modern slavery ini bisa ditangani dengan baik,” ujar Taufan.