Indonesia Butuh Ekosistem Kreator Konten yang Lebih Baik
Potensi kreator konten Indonesia masih bisa dimaksimalkan
Sepuluh tahun lalu, mungkin nggak banyak orang nyangka bahwa kreator konten bisa jadi profesi. Tapi kini, bidang tersebut udah tumbuh jadi salah satu pendukung ekonomi Indonesia.
Gimana nggak? Saat ini sebanyak 380 juta orang di Asia Tenggara mengonsumsi konten media sosial selama dua hingga empat jam tiap hari.
Dari kacamata bisnis, kreator konten masuk dalam kategori model bisnis e-commerce dengan sebutan istilah “social commerce.” Saat ini pasar e-commerce Indonesia pun diperkirakan akan mencapai Rp420,8 triliun dan diperkirakan akan punya dampak yang besar untuk ekonomi negara.
Sayangnya, pertumbuhan tersebut tampak tak sejalan dengan ekosistem konten kreator Indonesia.
Baca juga: Nama-Nama Tradisional (Sutiyem, Ngatmono, Poniyem, dll.) Makin Punah, Kok Bisa?
“Kreativitas bisa tersalur, dapur bisa tetap ngebul”
Bikin konten nggak semudah keliatannya. Banyak variabel yang harus masuk pertimbangan; dari ide, tren, teknis, engagement rate, algoritma, hingga monetisasi.
Idealnya, para kreator konten butuh ekosistem yang bisa mendukung mereka untuk membuat konten secara bebas. Sebuah saluran kreasi yang bisa dimonetisasi, tanpa followers, subscribers atau viewers yang tinggi.
Di sisi lain, audiens juga bisa menikmati dan mendapatkan manfaat dari konten yang mereka konsumsi. Didukung dengan iklim yang bisa saling dukung bantu dan berbagi ilmu; baik antara kreator, maupun dengan para pengikut.
Kalo kata Arief Muhammad, “kreativitas bisa tersalur, dapur bisa tetap ngebul.”
Namun realitanya nggak seenak itu.
Dapetin engagement rate yang tinggi kadang harus dibarengi dengan mengorbankan idealisme. Nggak jarang juga harus rela-relain ngikutin tren yang bertentangan dengan jati diri supaya bisa diterima algoritma.
Sebaliknya, ketika sang kreator konten memprioritaskan idealisme dan identitasnya, mereka dibayang-bayangi risiko minim views.
Baca juga: Baliho Deterjen Bergambar Jemuran Pakaian Dalam di Pekalongan Dianggap Tak Mendidik?
Belum ada dukungan pemerintah
Kebutuhan para kreator konten terhadap ekosistem yang suportif sebenarnya bisa jadi celah buat pemerintah untuk ambil peran.
Pasalnya para pencipta konten memang punya peran tersendiri di ranah ekonomi digital. Presiden Jokowi bahkan mengakui hal tersebut.
“Percepatan ekonomi digital membutuhkan sokongan lebih banyak digital talent. Kita perlu lebih banyak software developer. Kita perlu lebih banyak lagi product designer dan kita juga memerlukan dukungan content creator,” kata Jokowi ketika berpidato di gelaran Google for Indonesia pada bulan November tahun 2020.
Ia menyebut bahwa sumber daya manusia di bidang teknologi butuh talenta muda. Isu ini tidak bisa ditunda.
“Sehingga mampu menutupi kebutuhan 9 juta talenta digital nasional hingga tahun 2035, untuk memenuhi target 9 juta talenta digital nasional tersebut. Tidak bisa hanya dikerjakan oleh pemerintah, tapi harus dilakukan bersama,” katanya.
Sayangnya, semangat tersebut belum terealisasi lewat aksi nyata.
Jika saja ekosistem kreator konten dioptimasi, pendapatan negara ikut tinggi, para kreator konten juga makin senang berkreasi.
Your thoughts? Let us know?