Ekspor Sapu Lidi 25 Ton Ke India, Sadariah Curi Perhatian
Kerja keras selama pandemi, Sadariah berhasil eskpor sapu lidi ke India
Ekspor sapu lidi 25 ton ke India yang di raih Sadariah, disebutnya karena perjuangan.
Wanita asal Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat menjelaskan bahwa keberhasilan membuatnya sadar akan tanggung jawab dan terus menjaga kepercayaan yang ada.
Perusahaan yang dibangun dengan nama CV Coco Mandar terus diharapkan bisa berkembang.
“Kita tidak ingin Coco Mandar dianggap remeh,” tuturnya.
Dilansir dari Detik, Sadariah mengaku apa yang diraihnya merupakan buah kerja keras selama masa pandemi. Lewat keberhasilan itu, dia yakin terhadap dirinya dan disebut sebagai inspirasi banyak orang.
“Tentunya saya berharap ini (ekspor sapu lidi) bisa berjalan lancar dan mendapat dukungan dari semua pihak,” papar Sadariah.
Mengembangkan perekonomian di kampung
Di sisi lain, keberhasilan membuatnya semakin terdorong untuk mengembangkan perekonomian di kampung halaman sendiri.
“Bukan hanya untuk kepentingan saya bersama teman-teman, tapi bagaimana kegiatan ekspor sapu lidi ini bisa membawa perubahan untuk meningkatkan perekonomian warga,” tuturnya.
Sadariah diketahui merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Sedari kecil dia tinggal bersama keluarga di di Desa Sambali Wali, Kecamatan Luyo,
Menilisik balik ke belakang, kesuksesan berangkat dari masa sulit selama pandemi.
Usai menganalias potensi alam di kampungnya, Sadariah mendirikan CV Coco Mandar dan menjualnya di website. Namun dia membutuhkan waktu berbulan-bulan sampai akhirnya dilirik buyer asal India.
“Buyer (pembeli) kontak saya melalui WA (WhatsApp), dia minta tolong disiapkan sapu lidi,” ujar Sadariah.
Mengetahui minat itu, dia tertantang memenuhi permintaan pembeli sesuai spek. Apalagi uang 30 persen sudah ditransfer sebagai tanda jadi.
“Awal-awalnya kita juga ditipu, pahit-pahitnya saya harus ke beberapa daerah, untuk mencari sapu lidi, termasuk membuat postingan di Facebook, mencari informasi jika ada yang bersedia membantu saya menyiapkan sapu lidi,” terangnya.
Stigma negatif masyarakat
Walau sudah berhasil, sayangnya masih banyak stigma negatif terhadap bisnis tersebut.
Sadariah pun terus memberikan edukasi betapa limbah daun kelapa bisa menjadi barang ekonomis jika dikelola dengan benar.
“Waktu itu, saya ingin memperkenalkan sekolah saya melalui momentum sapu lidi ini. Jadi saya mengajak mereka bekerjasama,” ucap Sadariah.
Dia berkenan membeli sapu lidi yang disiapkan siswa. Dengan harapan itu turut membantu ekonomi pelajar, tetapi niatannya justru menuai sorotan.
“Saya hanya berpikir, apa yang saya lakukan bisa meringankan beban ekonomi para murid, mereka tidak perlu lagi meminta uang kepada orang tua, untuk memenuhi kebutuhan kecil,” beber dia.