Brand Ganti Logo Jadi Makin Sederhana, Memangnya Perlu?
Until next time, lumba-lumba logo Ancol!
Ucapkan selamat tinggal untuk lumba-lumba di logo Ancol, karena kini Taman Impian itu memutuskan untuk ganti logo ke bentuk yang lebih simple.
Bukan cuma logo, mereka juga meluncurkan nama baru, dari “Taman Impian Ancol” jadi “Ancol Taman Impian”. Menurut penjelasan Direktur Utama Teuku Sahir, langkah rebranding ini jadi penanda berhasilnya mereka melewati masa sulit pandemi Covid-19.
Walau begitu, nggak sedikit netizen yang merespon negatif. Beberapa orang berpikir kalau simplifikasi logo ini malah bikin karakter dan ciri khas Ancol hilang.
Ternyata, pergantian logo kayak gini bukan cuma dilakukan oleh Ancol aja.
Apa yang bikin brand ganti logo jadi lebih simple?
Ini bukan pertama kalinya sebuah brand mengambil langkah untuk ganti logo, dan berujung menuai pro-kontra. Biasanya, mereka beralih dari logo yang cenderung ‘berkarakter’ ke sesuatu yang lebih simple dan lebih umum.
Nggak bisa dimungkiri, logo jadi ‘wajah’ yang paling mudah dikenali dari suatu merek. Jadi, kalau ada perubahan di ‘wajah’-nya, kemungkinan besar ini jadi strategi branding dari merek tersebut.
Melansir jurnal yang terbit di Ripublication, kesederhanaan yang ada di desain bikin logo itu mudah untuk diproduksi ulang dalam berbgai macam bentuk. Selain itu, simplifikasi biasanya juga jadi langkah brand untuk terus relevan mengikuti perkembangan zaman.
Misalnya, logo Apple yang kita kenal sekarang beda jauh dengan logo pertamanya di tahun 1967. Lalu pada tahun 1998, Steve Jobs berpikir untuk membuat simbol yang merepresentasikan namanya langsung di logo, hingga jadilah bentuk apel ikonis yang kita kenal sampai sekarang. Ini jadi contoh simplifikasi logo yang berjalan sukses.
Sayangnya, simplifikasi ternyata nggak se-simple itu. Faktanya, ada juga langkah ganti logo yang berujung kontroversi.
Belajar dari merek-merek besar yang berganti logo
Pergantian logo nggak selamanya berjalan mulus. Pasalnya, ada kalanya bikin logo jadi lebih sederhana itu malah bikin mereka kehilangan karakter.
Kalau lo tau GAP, brand yang baru-baru ini kolaborasi dengan Ye (Kanye West), ternyata punya histori yang nggak mulus soal perlogoan.
Retailer pakaian dan aksesori yang sudah ada dari tahun 1969 itu terkenal dengan logo kotak biru tua bertuliskan “GAP” dengan font serif di tengahnya. Namun pada tahun 2010, mereka memutuskan untuk mengganti logo sebagai tanda telah melewati krisis finansial dua tahun sebelumnya.
Sayangnya, masyarakat nggak bisa menerima logo baru ini dengan baik. Bahkan, ada yang mengancam untuk berhenti belanja di sana.
Karena hal itu, akhirnya GAP menghapus logo barunya dan kembali ke simbol lama yang sudah berdiri 20 tahun itu. Hal ini terjadi kurang dari seminggu setelah logo baru mengudara.
Selain itu, ada pula fenomena belakangan ini di mana berbagai merek dunia yang makin lama makin mirip logonya, mulai dari Burberry, Balenciaga, Sain Laurent, Calvin Klein, dan masih banyak lagi.
Semuanya mulai beralih ke tipe font sans serif yang mirip dan makin nggak menunjukkan ciri khas masing-masing. Menurut seorang Brand Strategist dan CEO Sol Marketing, Deb Gabor, zaman sekarang logo bukan hal utama yang bikin orang-orang ingat dengan sebuah brand.
Kesimpulannya?
Intinya, urusan ganti logo ini sah-sah saja, selama ada tujuan yang jelas di baliknya.
Ingat kata-kata “If it aint’t broke, don’t fix it,” kadang ada hal yang mesti kita biarin untuk bisa berkembang dengan sendirinya.
Bagaimanapun, semuanya mencoba untuk tetap relevan dengan perkembangan zaman. Tinggal gimana kita bisa beradaptasi dan tetap terbuka untuk perubahan dan inovasi yang lebih baik.
What are your thoughts? Let us know!