A Brief History of Thrifting
Semakin ke sini, kita mengenal banyak istilah baru. Siapa di antara kalian yang doyan hunting barang bekas atau thrifting?
Buat kaum lembiru alias lempar-beli baru, mungkin agak kurang relate dengan ini. Dan merasa kalau thrifting hanya kegemaran mereka yang budgetnya limited. Jangan salah, justru thrifting ini seperti mencari harta karun dalam lautan barang yang sudah dipensiunkan. Kalau beruntung, kamu bisa mendapatkan rare item yang nilainya tinggi.
Secara bahasa Thrift sendiri diambil dari kata thrive yang berarti berkembang atau maju. Sedangkan kata-kata thrifty sendiri dapat diartikan sebagai cara menggunakan uang dan barang lainnya secara baik dan efisien. Dapat diartikan pula bahwa thrifting adalah kegiatan membeli barang bekas. Tapi, kegiatan ini bukan hanya sekedar membeli barang bekas saja, namun bagaimana kepuasan pribadi jika bisa mendapatkan barang yang keren atau rare dengan setengah harga atau lebih murah. Para pelakunya memang harus menikmati setiap prosesnya.
Namun, kegiatan thrifting ini bukanlah sebuah tren yang baru terjadi 1-2 tahun saja, jika diurutkan dari pertama kali budaya ini mencuat mungkin akan mundur hingga 1 abad yang lalu ketika revolusi industri terjadi. Kali ini kami akan membedah timeline dan sejarah singkat dari budaya thrifting ini.
1760 – 1840
Industrial Revolution Mass production leads to greater consumption.
Revolusi industri pada abad ke-19 mengenalkan mass-production of clothing yang merubah cara pandang masyarakat saat itu tentang dunia fashion. Pada masa itu pakaian sangat murah sehingga masyarakat memiliki pemikiran bahwa pakaian adalah barang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini mengarahkan masyarakat menjadi sangat konsumtif dan barang-barang yang dibuang tersebut menjadi menumpuk. Biasanya barang bekas ini digunakan oleh para imigran.
1760 – 1840
Salvation Army comes to the U.S
Pada babak kedua ini Salvation Army (the first NGO) memfokuskan barang yang tidak terpakai tersebut sebagai donasi. Mereka mengeluarkan sebuah shelter pada tahun 1897 yang bernama “Salvage Brigade“, jadi, jika ada seseorang yang merasa kelebihan pakaian atau barang lainnya bisa didonasikan ke tempat ini. Warga kurang mampu disekeliling shelter ini biasanya datang menggunakan gerobak untuk meminta pakaian. Tidak hanya itu, “Salvage Bridge” juga memberikan makanan dan layanan sosial lainnya.
The 1920s
The Great Depression and Rise of Retail Thriftshop
Saat Great Depression, krisis besar-besaran terjadi di Amerika, banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan, dan jatuhnya bursa saham New York menjadi “gong”-nya pada saat itu. Masyarakat saat itu bahkan tidak memiliki kemampuan untuk membeli pakaian baru, sehingga mereka memilih alternatif untuk berbelanja di thrift shop. Sedangkan untuk orang yang yang berkecukupan, tempat ini dijadikan untuk donasi.
Pada masa ini thrift store dikategorikan sebagai department store. Saat itu Goodwill Industries adalah salah satu thrift shop terbesar di Amerika yang memiliki stok pakaian dan peralatan rumah tangga yang siap untuk menyuplai lebih dari 1000 households. Pergerakan ini berhasil changing the “junk shops” stigma to “a different approach to charity”.
The 1970s
Buffalo Exchange Emergence
Buffalo Exchange menjadi thrift shop pertama yang sukses membuka cabang ke-17 states across the US, total cabang yang mereka miliki mencapai 49 gerai. Pada Buffalo Exchange kostumer dapat melakukan transaksi seperti trade, beli, ataupun menjual. Jika menjual barangnya, kostumer akan mendapatkan persenan dari hasil penjualan. Headquarter dari Buffalo Exchange berada di Tucson, Arizone dimana Kerstin Block (owner) pertama kali membuka tokonya di tahun 1974.
The 1990s
Kurt Cobain epitomized the “Grunge Look”.
Tahun 90an memang era dimana Grunge sedang jaya-jayanya, di mana Kurt Cobain panutan setiap remaja dimasa itu. Bersama sang istri (Courtney Love), Kurt secara tidak langsung mempromosikan “thrifting style” dengan gayanya yang identik dengan ripped jeans, flanel shirt, dan layering yang cukup banyak. Kadang juga menggunakan t-shirt atau kemeja yang sudah bolong-bolong. Lantas, untuk mencapai style yang diinginkan, untuk mencari bawang-barang seperti itu harus pergi ke thrift shop, karena retail saat itu tidak menjual yang semacam ini.
Ini jadi salah satu bukti dalam histori thrifting bahwa ini bukan perkara nggak punya uang, tapi sudah menjadi gaya hidup. Sama saja kok seperti doyan makanan kekinian atau suka makanan tradisional. Dua-duanya punya value yang oke masing-masing.
The 2000s
A New Wave of Thrifting
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh IBISWorld, saat ini thrift store adalah bagian dari industri besar yang bernilai hingga $14.4 billion. Kenyataan yang terjadi di Indonesia mungkin belum dihitung hingga berapa nilai dari industri ini, namun yang yata terasa adalah munculnya thrift shop online maupun offline secara sporadis yang meracuni para milenials.
Industri ini juga semakin besar di Indonesia ditandai dengan maraknya milenials yang mulai bangga menggunakan barang second. Kenapa bangga? Mungkin tercermin dari proses mendapatkannya yang sulit hingga barang branded yang bisa didapatkan lebih murah dari setengah harga.
Baca juga: Why Do We Thrifting?