Apa yang Salah dari Love Language dan Apakah Sepenting Itu?
Love Language; physical touch, quality time, words of affirmation, act of service, sampai gifts belakangan ini nggak asing kita dengar di dunia percintaan.
Nggak sedikit dari kita, mau yang punya pacar maupun jomblo, dapat pertanyaan, “Love language lo apa sih?”
Pembahasan soal hal ini jadi primadona, seakan-akan jadi panduan utama dalam dunia hubungan romantis maupun pertemanan. Bagaimanapun, ada beberapa kesalahan yang umum terjadi dalam memandang teori ini.
Tapi, apa sih sebenernya love language itu?
Love language itu beneran nggak sih?
Ternyata, lima bahasa cinta itu dikembangkan dan dipopulerkan oleh Gary Chapman pada tahun 1992 lewat bukunya, “The Five Love Languages: How to Express Heartfelt Commitment to Your Mate.”
Intinya, love languages ini adalah beberapa kategori cara orang mengekspresikan rasa sayangnya. Makanya, dengan mengenal ‘bahasa cinta’ seseorang, bisa membantu kita untuk mengerti satu sama lain dan punya hubungan yang lebih baik.
Sejak penerbitannya, konsep ini makin populer di pembahasan psikologi maupun pop culture.
Ya, bisa dibilang sama populernya dengan obrolan zodiak maupun tipe kepribadian dari Myers-Briggs (INFP, ESFJ, dkk).
Dari popularitas itu, muncul perdebatan di antara orang-orang yang menganggap tes-tes semacam ini cuma omong kosong.
Kesalahan yang umum terjadi
Sejatinya, Chapman bikin konsep ini untuk bisa mengenal pasangan dengan lebih baik, bukan untuk mengotak-ngotakan orang dengan batasan tertentu.
Cuma karena kita orang yang cenderung mengkspresikan cinta dengan kata-kata (words of affirmation), bukan berarti kita nggak akan cocok sama mereka yang masuk di kategori quality time.
Kesalahan selanjutnya adalah sakitaat menganggap love language ini ‘ajeg’ dan nggak akan berubah. Padahal, kita bisa berubah saat berhadapan dengan suatu situasi atau orang tertentu dalam kehidupan.
Terakhir, yang salah adalah kalau kita menganggap love language sebagai solusi segala masalah. Dengan mengenal bahasa cinta satu sama lain, bukan berarti nggak akan ada masalah lainnya yang timbul. Menurut para psikolog maupun terapis hubungan, permasalahan biasanya terjadi karena komunikasi yang kurang baik.
Jadi, love language itu penting nggak sih?
Ngomongin soal penting nggak pentingnya love language, sebenarnya tergantung dari gimana kita memakainya.
Kalau menurut Chapman, secara alami orang cenderung mengungkapkan kasih sayang sebagaimana ia mau menerimanya. Di sinilah teorinya itu jadi penting.Di luar itu, masih banyak aspek yang memengaruhi hubungan seseorang.
Bagaimanapun, supaya teori ini bisa bekerja dengan efektif, perlu ada komunikasi yang baik pula di antara para individu.
What are your thoughts? Let us know!